Beberapa Alasan Mengapa Orang Cerdas Hidup Lebih Bahagia
Tidak hanya meraih banyak prestasi tetapi orang yang cerdas atau memiliki kemampuan otak yang cemerlang ternyata hidup lebih bahagia.
Kecerdasan yang lebih dikenal dengan sebutan IQ (bahasa Inggris: intelligence quotient) adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar.
Seorang psikolog yang berasal dari Amerika, L.L. Thurstone (1938 – 1974) memilah-milah kecerdasan menjadi beberapa bagian yaitu Pemahaman dan kemampuan verbal, Angka dan hitungan, Kemampuan visual, Daya ingat, Penalaran, dan Kecepatan perseptual. Berbeda dengan Wechsler, seorang psikolog klinis kelahiran Lespedi, Romania pada tanggal 12 Januari 1896. Menurut Skala Wechsler (suatu metode umum yang dipergunakan untuk mendapatkan tingkat kecerdasan) membagi kecerdasan menjadi dua kelompok besar yaitu kemampuan kecerdasan verbal (VIQ) dan kemampuan kecerdasan tampilan (PIQ).
Alasan mengapa orang cerdas hidup lebih bahagia ini dikemukakan oleh para peneliti dari University College London yang telah meneliti hampir 7000 pekerja kantoran. Hasil penelitian menunjukkan para partisipan riset yang memiliki level IQ 120-129 mengaku tidak puas dengan kehidupan yang dijalani sehari-hari. Orang-orang dengan IQ 70-79 mengaku sering mengeluh tentang kegagalan dan kesedihan yang dialami. Sebaliknya, para partisipan dengan IQ di atas 129, atau 43% dari keseluruhan responden merasa tidak hanya bahagia, tapi sangat bahagia dengan kehidupannya.
Para peneliti memaparkan bahwa persepsi manusia bergantung pada tingkat penghasilan dan status sosial. Posisi-posisi tinggi di dunia kerja memungkinkan seseorang untuk meraih penghasilan dan status sosial yang tinggi. Sedangkan orang-orang dengan IQ rendah sulit memperoleh posisi tinggi dalam pekerjaannya, sehingga tingkat penghasilan dan status sosialnya pun sulit didongkrak.
Tidak hanya memudahkan untuk mendapatkan posisi tinggi pada dunia kerja, tingkat kecerdasan seseorang memiliki hubungan erat dengan kualitas kesehatan. Sebuah riset menunjukkan, mereka yang cerdas ternyata lebih jarang sakit atau mengambil cuti panjang dari pekerjaan karena menderita sakit. Rendahnya tingkat kecerdasan dan tingkat pendidikan kemungkinan juga dapat membatasi kemampuan seseorang dalam mentransfer keterampilan. Contohnya, ketika seorang pekerja dengan skill terbatas menderita sakit dan kemudian berhenti dari pekerjaan, mereka memiliki sedikit pilihan untuk menemukan pekerjaan lain.
Hubungan tingkat kecerdasan dan kualitas kesehatan ini diteliti oleh Para peneliti dari King’s College London, Inggris. Mereka menelusuri data lebih dari 23.000 orang yang mengikuti tes perilaku kognitif pada tiga kurun waktu yakni 1946, 1958, dan 1970. Kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang melibatkan pengetahuan dan pengembangan keterampilan intelektual.
Pada kelompok yang mengikuti tes kognitif pada 1946, 47 persen pekerja yang mengambil cuti panjang karena sakit berada pada kategori seperempat terburuk hasil tes kemampuan kognitif. Sementara itu, pekerja yang mencatat hasil tes kognitifnya tertinggi, hanya 13 persen saja yang mengambil cuti sakit.
Hasil yang tak jauh berbeda juga ditemukan pada pekerja yang menjalani tes kognitif pada 1958. Tercatat ada 41 persen dari kelompok hasil tes kognitif terburuk yang mengambil cuti sakit. Adapun pada 1970, dari kelompok hasil tes terburuk ini tercatat 32 persen mengambil cuti sakit.
Peneliti menyatakan, “Cuti panjang karena sakit adalah hasil yang sangat kompleks dengan melibatkkan banyak faktor kesehatan. Kemampuan kognitif mungkin memengaruhi cara seseorang dalam membangun strategi mempertahankan pekerjaan mereka dan menemukan pekerjan baru ketika menghadapi beragam kesulitan,”.