Cara menyelesaikan Masalah Dengan Berani Mengambil Risiko

Berani mengambil risiko untuk menyelesaikan masalahSetiap orang pasti memiliki masalahnya masing-masing. Yang perlu dipercaya, tidak ada orang yang tidak memiliki masalah. Pada kajian psikologi, masalah “diciptakan” untuk kenaikan tingkat dan berani mengambil risiko adalah cara penyelesaiannya.

Risiko adalah bahaya, akibat atau konsekuensi yang dapat terjadi akibat sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang.

Seorang konselor dan terapis EFT (emotional freedom technique) di biro psikologi Westaria, Anggia Chrisanti Wiranto, mengatakan “Tuntutan dan kebutuhan untuk menuntut ilmu, tuntutan dan kebutuhan untuk bersosialisasi, tuntutan dan kebutuhan untuk bekerja, tuntutan dan kebutuhan untuk menikah dan berkeluarga, adalah sebagian kecil dari ujian yang menimbulkan masalah dalam upaya penyelesaiannya,” terang Anggia.

Terkadang ada sebagian orang yang memilih untuk melarikan diri dari masalah yang dimiliki. Itu bukanlah sebuah solusi. Penyelesaian atau mencari jalan keluar, ini sikap paling tepat dalam menghadapi masalah dan ujian apapun. Ada sebuah pepatah yang dapat digunakan untuk acuan gagal satu kali, harus mau mencoba lagi sampai 1.000 kali. “Jangan pernah mengumpulkan dan membawa puing-puing kegagalan yang hanya akan menghalangi kita dalam menuntaskan masalah apa pun,” anjur Anggia.

Tidak banyak dari kita yang memiliki masalah dan memilih untuk mengambil risiko untuk menyelesaikannya. Alasannya cukup jelas, karena takut. Takut mengambil risiko — risiko malu, risiko lelah, risiko kehilangan, dan lain-lain, terutama risiko gagal.

Padahal dalam langkah berani mengambil risiko berarti kita mau belajar dari kesalahan dan kegagalan, dan tetap maju sampai terselesaikannya satu masalah dan masalah yang lainnya.

Selain takut mengambil risiko, banyak orang yang berfikiran skeptis (kurang percaya, ragu-ragu) dengan berkata ‘belum rezeki’, ‘Tuhan tidak adil’, ‘saya memang pecundang’ atau merutuki keberhasilan orang lain, dengan melemparkan anggapan ‘dia berhasil karena curang’, ‘pandai menjilat’, ‘pakai sogokan’, dan lain-lain, ketimbang mengambil risiko dan mencoba lagi sampai berhasil (terselesaikan masalah).

Kalau takut, ambilah risiko tapi lakukan dengan disertai management risk, sehingga dalam pengambilan risiko tidak ‘terjun bebas. Tentu saja, mengambil risiko berarti berisiko.

Management risk (manajemen risiko) adalah proses pengelolaan risiko yang mencakup identifikasi, evaluasi dan pengendalian risiko terhadap masalah yang dihadapi. Tahap-tahapannya yaitu dengan mengidentifikasi terlebih dahulu risiko-risiko yang mungkin akan dialami setelah mengidentifikasi maka dilakukan evaluasi atas masing-masing risiko ditinjau dari severity (nilai risiko) dan frekuensinya. Tahap terakhir adalah pengendalian risiko. Dalam tahap pengendalian risiko dibedakan menjadi 2 yakni pengendalian fisik (risiko dihilangkan, risiko diminimalisir) dan pengendalian finansial (risiko ditahan, risiko ditransfer). Menghilangkan risiko berarti menghapuskan semua kemungkinan terjadinya kegagalan. Meminimasi risiko dilakukan dengan upaya-upaya untuk meminimumkan kegagalan. Menahan sendiri risiko berarti menanggung keseluruhan atau sebagian dari risiko, sedangkan pengalihan/transfer risiko dapat dilakukan dengan memindahkan kerugian/risiko yang mungkin terjadi kepada pihak lain.

“Namun, tidak bertindak karena menghindari risiko, adalah keputusan yang sangat berisiko,” sergah Anggia sembari menambahkan, menyerah pada keadaan — saat perekonomian semakin pelik, semakin banyak orang pandai, biaya hidup meninggi, dan segala sesuatu diperbandingkan — itu bukanlah solusi!

eXTReMe Tracker